TELITIK.com, Banda Aceh – Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melakukan kunjungan kerja ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Banda Aceh, Selasa, 25 Oktober 2022 siang. Dalam kunker tersebut, Komisi V DPR Aceh turut mengonfirmasi kinerja BPOM terutama terkait lolosnya beberapa produk obat yang diduga memicu gagal ginjal akut pada anak.
Kunjungan kerja ini dihadiri Ketua Komisi V DPR Aceh, M Rizal Falevi Kirani, Wakil Ketua Irpannusir, Sekretaris Asmidar, dan anggota Komisi V DPR Aceh, Tarmizi SP, Edi Kamal, Muslim Syamsuddin, dan Asib Amin.
Hadir menyambut Komisi V DPR Aceh, Kepala BPOM Banda Aceh, Yudi Novriandi dan para jajarannya.
Dalam kunjungan kerja tersebut, Komisi V DPR Aceh turut mempertanyakan pola pengawasan yang dilakukan BPOM terhadap izin edar obat. Selain itu, Komisi V DPR Aceh juga ingin memastikan obat apa saja yang sudah terbukti benar-benar mengandung etilon glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).
Ketua Komisi V DPR Aceh, M Rizal Falevi Kirani juga mempertanyakan tahapan pengawasan terhadap obat dan makanan yang dilakukan BPOM. “Kalau kami lihat, negara hari ini kecolongan (dengan adanya obat yang mengandung EG/DEG melebihi ambang batas),” kata Falevi.
Selain itu, berdasarkan temuan Komisi V DPR Aceh, masih ada apotik yang menjual obat seperti yang masuk dalam list Kementerian Kesehatan RI.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi V DPR Aceh, Irpannusir, mempertanyakan apakah isu adanya beberapa obat pada anak yang mengandung EG/DEG sehingga diduga memicu gagal ginjal akut tersebut, berkaitan dengan monopoli farmasi, persaingan bisnis atau persaingan merk obat sehingga Aceh menjadi pilot project terkait hal tersebut. Pasalnya menurut Irpannusir, obat-obat yang masuk dalam daftar mengandung EG/DEG tersebut sangat familiar bagi masyarakat di Indonesia, khususnya Aceh.
“Kok baru sekarang? Kenapa dulu tidak?” tanya Irpannusir.
Selama ini, BPOM terus melakukan pengawasan terhadap obat dan makanan yang beredar di masyarakat. Namun, menurut Ketua BPOM Banda Aceh, Yudi Novriandi, terkadang kebijakan-kebijakan
birokrasi yang panjang membuat BPOM di daerah tidak bisa langsung mengujinya tanpa instruksi Pusat. “Kami hanya bisa melaporkan ke Pusat karena kewenangannya ada di sana,” kata Yudi.
Dia berharap, dengan adanya kekhususan Aceh, maka BPOM di daerah dapat melakukan uji terhadap obat dan makanan yang diduga berisiko terhadap kesehatan.
Mengenai harapan ini, Ketua Komisi V DPR Aceh menanggapi positif apa yang disampaikan BPOM.
“Inilah yang mau kita koordinasikan, sehingga Aceh punya kekhususan untuk bisa menguji sendiri tanpa harus menunggu instruksi dari Pusat. Inilah kekhususan yang sebenarnya yang harus kita ambil dan ini menjadi pengalaman bagi kita, bukan saat kasusnya ada, kita baru terkejut untuk melahirkan regulasi,” papar Falevi.[]
Discussion about this post