TELITIK.com, Banda Aceh – Sejumlah Fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh menanggapi persentasi naskah akademik dan draft revisi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) yang diserahkan oleh tim Universitas Syiah Kuala (USK) pada Senin, 31 Oktober 2022. Dalam tanggapannya, sejumlah fraksi mengapresiasi kinerja Tim USK yang telah menyusun draft revisi UU PA.
Dari Fraksi Gerindra, mereka berharap revisi ini turut mengatur agar Qanun yang dilahirkan oleh UU RI Nomor 11 tahun 2006 harus dipandang sama dengan Peraturan Pemerintah (PP). Menurutnya kalau qanun yang dilahirkan dari rahim UU PA tidak dipandang sama dengan PP, maka akan menjadi sia-sia upaya dewan melahirkan aturan hukum tersebut.
“Karena semua kewenangan itu ada aturannya, ada regulasinya secara nasional. Tidak ada di dalam UU Nomor 11 tahun 2006 ini yang tidak ada regulasi nasional, tidak ada. Semua dalam bertata negara ada aturannya,” ungkap Ridwan Yunus dari Fraksi Gerindra, Senin, 31 Oktober 2022.
Sementara itu, Samsul Bahri atau akrab disapa Tiyong dari Fraksi PNA dalam presentasi tersebut turut berharap agar dewan diberikan waktu untuk mempelajari naskah akademik dan draft revisi UU RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang baru saja disusun Tim USK. Meskipun demikian, Tiyong turut menyorot Pasal 144 UU PA terkait pertanahan. “Kita sekarang di Aceh telah membuat Badan Pertanahan Aceh sekian tahun, tetapi belum ada fungsi karena benturan dengan kaitan Badan Pertanahan Nasional. Ini juga harus jelas, karena Badan Pertanahan Aceh dibentuk dengan Qanun Aceh sesuai Pasal 44,” tambah Samsul Bahri.
Dia juga berharap dalam penyusunan narasi pasal demi pasal tidak memakai frasa bersayap, tetapi harus tegas.
Abdurrahman Ahmad dari Fraksi Gerindra DPR Aceh yang hadir dalam rapat tersebut turut menekankan batas teritorial laut Aceh yang dimasukkan dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2006. Selain itu, Abdurrahman Ahmad juga menyorot terkait zakat yang dimasukkan dalam UU RI Nomor 11 Tahun 2006. “Ternyata pada saat kita laksanakan banyak kendala, karena zakat itu dilaksanakan berdasarkan hukum syariat Islam tersendiri. Dan ini sekarang terikat dengan peraturan pengelolaan keuangan daerah sehingga dia harus masuk APBA dan harus melalui pembahasan. Sekarang terjadi banyak sekali SiLPA dari sektor zakat yang tidak bisa digunakan,” ungkap Abdurrahman Ahmad.
Dia berharap dalam revisi tersebut nantinya, sektor zakat tidak lagi dimasukkan sebagai pendapatan Aceh. Abdurrahman bahkan berpendapat agar zakat diatur sendiri oleh Baitul Mal dengan sistem badan syariat tersendiri.
Selain itu, Abdurrahman Ahmad juga menyorot tentang pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang diberikan hak kepada para non-Muslim untuk memilih menjalani hukuman sesuai KUHP atau Qanun Jinayah. Abdurrahman berharap dalam pelaksanaan syariat Islam nantinya di Aceh diberlakukan aturan teritorial, tidak lagi berdasarkan azas pendudukan.
“Siapapun yang melanggar syariat Islam di Aceh, dia harus mengikuti aturan syariat Islam. Seperti kita contoh ke Arab (Saudi), ketika kita ke Arab, ketika kita melanggar, kita tunduk kepada aturan di Arab itu. Jadi azas teritorial,” kata Abdurrahman.
Dalam pendapatnya, Abdurrahman Ahmad juga meminta revisi UU RI Nomor 11 tahun 2006 untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPR. Permintaan ini bukan tanpa alasan. Menurut Abdurrahman, ide untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui sistem parlementer telah disuarakan secara nasional. Selain itu, menurutnya, KPK juga telah menganalisis sumber terbesar korupsi di Indonesia lantaran sistem pemilihan langsung kepala daerah yang membutuhkan biaya besar.
“Jadi kita coba, pemilihan gubernur dan kepala daerah kabupaten kota dipilih oleh DPRD,” kata Abdurrahman.
Banyak hal lainnya yang dikemukakan anggota DPR Aceh dalam presentasi draft revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tersebut. Seperti misalnya saran politisi dari Fraksi Demokrat DPR Aceh, Thantawi, agar UU tersebut juga mengatur secara tegas terkait lambang dan bendera Aceh yang menurutnya sangat penting agar tidak terjadi polemik berkepanjangan di daerah.
“Itu perlu dimasukkan, bahwa itu penting, bahwa masyarakat Aceh itu butuh bendera, seperti yang saya lihat di Maluku Utara yang memiliki dua bendera. Kenapa kita di Aceh tidak bisa? Jadi saya minta (itu dimasukkan) supaya itu bersanding, supaya tidak ada lagi perdebatan,” pungkas Thantawi.[]
Discussion about this post