Kapal Lampulo atau yang sering dikenal Kapal di Atas Rumah merupakan sebuah situs sejarah yang menjadi saksi bisu dahsyatnya tsunami. Kapal ini kini diabadikan menjadi sebuah objek wisata sejarah dengan keunikan tersendiri yang mampu menarik minat wisatawan.
****
ACEH dipenuhi beragam destinasi wisata yang menarik, mulai dari pantai, gunung, kuliner, hingga situs sejarah lainnya. Namun itu belum cukup membuat anda untuk berhenti mengunjungi Aceh, anda harus berkunjung ke salah satu bagian Kota Banda Aceh yang memberikan cerita dahsyatnya gelombang tsunami Aceh 2004 silam.
Tahun 2004 silam, Aceh dihempas tsunami dahsyat. Sampai-sampai, ada kapal yang menerjang atap rumah penduduk. Kejadian Tsunami 26 Desember 2004 di Aceh dulu, masih bisa kita lihat rekam jejaknya sampai sekarang.
Banyak wisatawan akan heran melihat pemandangan yang menyolok, yakni sebuah kapal nelayan ukuran besar terseret ke daratan hingga sejauh 3 kilometer dan terdampar di salah satu atap rumah penduduk.
Kapal Lampulo atau yang sering dikenal Kapal di Atas Rumah merupakan sebuah situs sejarah yang menjadi saksi bisu dahsyatnya tsunami. Kapal ini kini diabadikan menjadi sebuah objek wisata sejarah dengan keunikan tersendiri yang mampu menarik minat wisatawan.
Meskipun tsunami telah berlalu 17 tahun silam, kapal dan rumah di sana masih mempertahankan keasliannya. Kapal ini terletak di Desa Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Untuk mencapai lokasi tempat wisata ini, wisatawan bisa menggunakan kendaraan umum yang ada di Banda Aceh seperti labi-labi. Selain itu, bisa juga ditempuh dengan kendaraan pribadi yang memakan waktu kurang lebih 10 menit dari pusat Kota Banda Aceh.
Kapal Apung Lampulo berbahan kontruksi dari kayu tersebut memiliki berat 65 ton, dengan panjang 25 meter, dan memiliki lebar 5,5 meter. Bagian bawah kapal di cat dengan warna hitam, dan badan kapal dicat warna perak. Sementara beberapa dinding kapal sudah kelihatan lapuk.
Saking beratnya kapal yang tersangkut di atap rumah, pemerintah Kota Banda Aceh membangun penyangga berbahan besi untuk menahan kapal supaya tetap berada pada posisinya, sementara di bagian langit-langit kapal sudah dipasang atap.
Bagi pengunjung yang ingin melihat geladak kapal, pemerintah Kota Banda Aceh juga telah mendirikan sebuah bangunan dengan tangga datar setinggi lima meter. Dari atas, pengunjung dapat melihat bagian dalam kapal, dan rumah yang tertimpa kapal besar itu.
Tak jauh dari kapal, ada sebuah plakat yang ditulis dalam tiga bahasa: Aceh, Indonesia, dan Inggris. Plakat ini dirancang oleh tim Bustanussalatin dan bantuan recovery Aceh-Nias Trust Fund Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR).

Pada plakat itu ditulis kalimat: Kapal ini dihempas oleh gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 hingga tersangkut di rumah ini. Kapal ini menjadi bukti penting betapa dahsyatnya musibah tsunami tersebut. Berkat kapal ini 59 orang terselamatkan pada kejadian itu.
Para pengunjung tidak dipungut biaya masuk ke lokasi objek wisata Kapal Apung Lampulo. Di sana anda akan melihat sebuah kotak amal, dan anda pun bisa memberikan uang seiklasnya. Walaupun tak ada patokan tiket masuk, tetapi lokasi wisata ini terawat dengan baik.
Pemilik rumah yang menjadi tempat kapal ini terdampar di atas atap rumahnya, yang merawat lokasi objek wisata Kapal Apung hingga saat ini. Dia pun bersama keluarganya masih menghuni di situ.
Di lokasi objek wisata ini juga telah dibangun toilet umum yang bisa digunakan gratis oleh para pengunjung. Dan tak perlu khawatir jika anda berpergian dengan kendaraan pribadi, karena di lokasi terdapat lahan parkir yang aman.
Setelah anda puas-puas melihat kapal di atas atap rumah, nanti di sekitar lokasi banyak orang penjual makanan ringan dan souvenir. Setidaknya setelah anda berkunjung ke Kapal Apung Lampulo, ada cendera mata khas objek wisata di sini yang bisa anda bawa pulang untuk untuk keluarga yang belum berkunjung langsung ke tempat ini.
Salah satu saksi hidup, Bundiyah, ingat betul detik-detik saat gelombang tinggi menerjang pesisir Aceh pada Minggu 26 Desember 2004 silam. Saat itu, Wak Kolak, sapaan akrab Bundiyah, sedang berjualan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lampulo, Kota Banda Aceh, Aceh.
Minggu pagi, 26 Desember lima belas tahun silam, suasana TPI Lampulo (saat ini PPS Kutaraja) sedang disibukkan dengan aktivitas warga membeli ikan dan nelayan menurunkan hasil tangkapannya di dermaga.
Tiba-tiba, gempa dengan goncangan dahsyat menggoyang bumi Aceh. Beberapa saat kemudian, gelombang dari laut menerjang TPI Lampulo. Wak Kolak panik dan menuju lantai dua salah satu bangunan di komplek TPI Lampulo.
“Saat itu saya sudah pasrah, tiba-tiba datang kapal, saya kira kapal bantuan, rupanya kapal kosong sehingga kami naik ke kapal tersebut,” kata Wak Kolak akhir Desember 2020 silam.

Di atas kapal tersebut, Wak Kolak bersama 58 orang lainnya dibawa arus tsunami Aceh. Mereka terombang-ambing bersama puing-puing bangunan lainnya yang diterjang air bah. Seiring surutnya air ke laut, kapal yang ditumpangi Wak Kolak akhirnya berhenti di salah satu rumah milik warga di Desa Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.
Kata Wak Kolak, kapal itu memiliki panjang sekitar 25 meter dan berat yang mencapai 65 ton. Kapal tersebut kini sudah dijadikan situs sejarah sekaligus objek wisata di bawah Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh.
Setelah dipugar, kapal ini telah memiliki penyangga yang terbuat dari besi, sehingga posisi kapal tetap berada di atas rumah. Di sisi lain, terdapat pula jalan setinggi lima meter yang dibangun untuk memudahkan wisatawan yang ingin naik melihat kapal lebih dekat.
Menurut Wak Kolak, kapal ini sebenarnya adalah sebuah kapal milik nelayan yang digunakan untuk mencari ikan di laut. Pemiliknya berasal dari Medan, Sumatera Utara. Namun, Wak Kolak tak tahu betul siapa sosok tersebut.
“Di lokasi kapal ini dulu ada dua rumah dan dua bidang tanah, karena ini sudah dipugar, maka tanah tersebut dibeli oleh pemerintah,” kata Wak Kolak.[] (Fadhil)
Discussion about this post