TELITIK.com, Solo – Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas berpesan untuk memilih pemimpin yang mempunyai rekam jejak yang baik dalam menjaga kerukunan, terutama kerukunan umat beragama. Karena menurutnya, Indonesia mempunyai pengalaman buruk terkait hal tersebut.
Hal itu disampaikan Gus Yaqut dalam sambutannya saat menghadiri acara doa bersama Wahana Nagara Rahaja di Hotel Alila, Solo, Jumat, 29 September 2023. Acara itu diikuti umat Buddha.
“Kita memiliki kewajiban untuk memilih pemimpin yang tepat, agar agama dan keyakinan yang kita pegang erat ini bisa tetap terjaga, dan terjamin keberlangsungannya, bisa tetap melakukan ibadah tanpa ada gangguan apapun,” ujar Gus Yaqut.
Menag juga mengajak umat beragama untuk menyambut tahun politik secara damai. Karena menurutnya, pemilihan umum hanya merupakan mekanisme memilih pemimpin negeri ini. Karenya, penting untuk menghindari hal-hal yang bisa memecah belah.
“Saya berharap sebagai umat beragama, kita semua berperan sebagai aktor yang menjaga kedamaian dalam pelaksanaan pemilu tahun depan. Jangan malah menjadi bagian yang salah; menganggap pemilu ini medan peperangan, yang mengorbankan hidup dan mati, sehingga saling memusuhi, itu tidak boleh,” harapnya.
Gus Yaqut juga mengingatkan agar dalam memilih pemimpin melihat rekam jejak calon presiden (capres) pada Pilpres 2024. Menag mengingatkan jangan memilih pemimpin secara asal-asalan.
“Saya berharap, dalam memilih pemimpin ini, benar-benar melihat rekam jejaknya. Harus dilihat dulu track recordnya. Jangan pertaruhkan negeri ini kepada orang yang tidak miliki perhatian kepada kita semua,” tukasnya.
Lebih lanjut, Menag mengingatkan agar tidak memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai kepentingan politik. Meskipun, dirinya meyakini bahwa politik tidak bisa lepas dari agama.
“Agama dan politik tidak bisa dipisahkan tetapi agama tidak boleh digunakan sebagai alat politik untuk memenuhi nafsu kekuasaan, ini berbeda,” bebernya.
“Jadi ini berbeda agama, pasti berhubungan dengan politik dan sebaliknya tetapi jangan gunakan agama untuk memenuhi keinginan merebut kekuasaan, tidak boleh karena berbeda pilihan kemudian yang beda itu dikafir-kafirkan,” tegasnya.
Menag mengungkit pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 serta Pemilu 2014 dan 2019 yang dinilai menggunakan agama dalam politik.
“Kita masih ingat, kita punya sejarah yang tidak baik atas politik penggunaan agama dalam politik, kita punya sejarah tidak baik beberapa waktu yang lalu ketika pemilihan Gubernur DKI Jakarta kemudian dua Pilpres terakhir, agama masih terlihat digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan kekuasaan,” tegas Yaqut.
Dirinya pun meminta kepada umat Buddha agar agama tidak digunakan untuk kepentingan-kepentingan.
“Di kesempatan yang baik ini mari sama-sama kita jaga agama yang kita yakini ini agama yang kita pegang teguh di dalam hati kita, kita jaga agar tidak digunakan untuk kepentingan-kepentingan memperebutkan posisi kekuasaan, jangan mau agama dirusak,” pungkasnya.[] (zik/zik)